20110917

one way street

Pernahkah kamu merasa damai di tengah kota dan hidup yang kacau ini? Pernahkah kamu merasakan perbedaan angin yang menerpa lehermu, tanganmu, dadamu, dan belakang telingamu? Ya dan Ya. Aku pernah. Tepatnya kemarin, dan ini sangat tidak direncanakan.

Tanggal lupa. Pukul 15.45
Persis memasuki tahun ajaran baru, dengan harapan IP yang akan naik, hidup yang lebih baik, dan semangat yang selalu mengalir dari yang terkasih, pada jam itu, aku sudah sholat Ashar. Sejuk sekali. Tanpa Belum ada beban.
Waktu itu terdiam, ingin mencuri kesempatan. Mengapa aku tidak mencari sepeda--milik siapapun--dan bergegas pergi kemanapun aku ingin. Tanpa permisi, aku ambil dan kukayuh.Percakapan yang kudengar tadi, ah. Sudah lupa. Aku sudah sibuk dengan pemberontakanku sendiri. Dan aku hanya berharap semoga temanku baik-baik saja.
Tak perlu aku berpikir harus kemana sepeda ini kukayuh. Dan terlintas satu buah tempat. Sebuah ikon kota Yogyakarta yang kalian semua sudah tahu pasti dimana.

Ya. Jalan Malioboro.

Haha. Hahahaha.

Ha.

Perspektif dan subjektif.
"Untuk apa kau bersepeda kesana, tolol."
"Tidak ada yang bisa didapat saat bersepeda kesana"

Hahaha. mereka tidak tahu dengan apa yang mereka ucapkan. Mengapa sih kau tidak mencoba hal yang baru dan mencoba untuk melewatkan sisi kesucianmu lalu berulah? Memang bukan hal berulah itu yang menjadi masalah. Yang aku tekankan, larilah dari rutinitas.
Perempatan pertama. Lewat.
Perempatan kedua. Lewat.
Perempatan ketiga. Lewat.
Aku tak terhentikan. Sama sekali tidak takut ditilang. Dan preman berseragam itupun tidak cukup bodoh menjadi yang pertama kalinya sepanjang sejarah menilang seorang pesepeda. Apalagi yang punya mimpi.

Tak terasa sepuluh menitku. Pukul 15.55
Aku sudah sampai. Berhenti. Sejenak. Mendongak. Sudut elevasi sembilanpuluh derajat.
Dan aku merasa gila. Aku merasa berada di kota lain.
Luar biasa.

Coba saja kau bersamaku waktu itu. Minimal membawa termometer udara murahan yang dapat kau beli di toko-toko. Berapa Fahrenheit yang tertera? Sayang aku bukan ahlinya. Aku tidak bisa mengira-ngira. Hanya tubuhku waktu itu yang menjadi termometernya.
TENOmeter.
Hahaha.

Kupejamkan mata. Bau telethong sapi di sebelah tenggaraku. Bau kain batik murahan yang digantungkan oleh pedagang kakilima di sebelah kananku. Teriakan orang tawar menawar terdengar jelas dan berisik. Sangat berisik. Perasaan mulai  muncul. Banyak sekali.

Senang. Takjub, Haru. Kecewa. Menyesal. Benci. Mual. Senang. Senang. Ingintahu. Senang.

Senang karena aku berhasil lari dari rutinitas.
Takjub karena ini kelewat mengagumkan.
Haru karena aku masih bisa menemukan oase di gurun kekacauan ini.
Kecewa karena menyadari tidak semua orang yang tahu oase ini.
Menyesal karena aku tidak mengajakmu waktu itu.
Benci pada diri sendiri dan meras atidak dapat meamaafkan.
Mual karena bau telethong sapi tadi.
Senang karena mungkin aku bisa mengajakmu lain waktu.
Senang karena sejuk.
Ingintahu berapa jadinya orang tawar menawar tadi mendapatkan harga finalnya.
Senang karena suatu saat aku pasti akan kesini lagi. BERSAMAMU !!!


Dan aku masih menghadap ke selatan. Ku menoleh ke utara, terbersit. Akankah ku berpaling?

Tentu saja tidak.
KARENA JALAN INI SATU ARAH. :)
hahaha.


*bersamaku, akan kugenggam tanganmu dan dapatkan pengalaman terbaik. Masa depanmu? Jangan kuatir. Aku tak mengganggunya. Aku menanggungnya.


Teno, out.

By tenoismoko with 2 comments

2 kripik:

Post a Comment