. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Tiba-tiba aku masuk ke dalam hutan.
Masih perawan, sulur dan akar malang melintang didepanku.
Aku berhati-hati melewati akar-akar tersebut. Dan sekarang ranting.
Ranting getas. Berderik ketika diinjak, dan patah memecut mata kakiku.
Ya. Aku tak bersepatu.
Untuk merasakan dinginnya tanah yang basah karena entah kotoran burung atau embun.
Tak menghiraukan lagi.
Alhamdulillah.
Masih perlahan, sarang laba-laba yang agak menutupi pandanganku kuhela dengan tangan.
Cukup kuat, membutuhkan sepersekian newton gaya dari tanganku untuk menebasnya.
Perlengkapanku? Ah. Tidak butuh.
Aku masih punya dua tangan dan dua kaki.
Alhamdulillah.
Aku masih mencoba mencari ujung dari jalan yang aku buat sendiri.
Cahaya matahari hanya masuk beberapa milimeter persegi di sela dedaunan pohon ek. Diantaranya sudah kering.
Tapi beberapa milimeter itu pun sudah cukup menghangatkan. Walau hanya sebatas endodermis.
Belok kanan belok kiri sudah tidak ada bedanya.
Hijau dan coklat. Kontras dengan kulitku yang memerah karena dehidrasi.
Aku haus.
Dan masih diberi kenikmatan yang namanya HAUS.
Alhamdulillah.
Entah naluri atau apa, aku merasakan getaran air di bawah kakiku.
Tanpa berpikir, aku menggali.
Telanjang tangan. Tanpa pamrih.
Demiku, aku menggali sedalam yang aku bisa.
Tanah yang masuk ke dalam sela-sela kuku. Beberapa belatung. Beberapa membelah ulat sagu menjadi ceceran cairan berlemak.
Untuk apa kuhiraukan? Aku hanya ingin mencari apa inginku.
Oh bukan. Apa butuhku.
Insting? Mungkin aku sudah menyerupai hewan. Dan tidak beda.
Sudah lama tidak berkaca.
Nihil.
Aku mulai putus asa.
Dengan mendongakkan wajahku mengikuti sumbu Z, aku masih mencari arah mata angin.
Bangsat. Tak kelihatan.
Tak sadar aku mengumpat.
"Apa aku memang terlahir untuk tersesat?"
"Apa aku sudah tidak akan menemukan pedoman hidupku kembali?"
Tertatih.
Dan jatuh.
Di tengah danau dangkal.
Tiba-tiba aku masuk ke dalam hutan.
Masih perawan, sulur dan akar malang melintang didepanku.
Aku berhati-hati melewati akar-akar tersebut. Dan sekarang ranting.
Ranting getas. Berderik ketika diinjak, dan patah memecut mata kakiku.
Ya. Aku tak bersepatu.
Untuk merasakan dinginnya tanah yang basah karena entah kotoran burung atau embun.
Tak menghiraukan lagi.
Alhamdulillah.
Masih perlahan, sarang laba-laba yang agak menutupi pandanganku kuhela dengan tangan.
Cukup kuat, membutuhkan sepersekian newton gaya dari tanganku untuk menebasnya.
Perlengkapanku? Ah. Tidak butuh.
Aku masih punya dua tangan dan dua kaki.
Alhamdulillah.
Aku masih mencoba mencari ujung dari jalan yang aku buat sendiri.
Cahaya matahari hanya masuk beberapa milimeter persegi di sela dedaunan pohon ek. Diantaranya sudah kering.
Tapi beberapa milimeter itu pun sudah cukup menghangatkan. Walau hanya sebatas endodermis.
Belok kanan belok kiri sudah tidak ada bedanya.
Hijau dan coklat. Kontras dengan kulitku yang memerah karena dehidrasi.
Aku haus.
Dan masih diberi kenikmatan yang namanya HAUS.
Alhamdulillah.
Entah naluri atau apa, aku merasakan getaran air di bawah kakiku.
Tanpa berpikir, aku menggali.
Telanjang tangan. Tanpa pamrih.
Demiku, aku menggali sedalam yang aku bisa.
Tanah yang masuk ke dalam sela-sela kuku. Beberapa belatung. Beberapa membelah ulat sagu menjadi ceceran cairan berlemak.
Untuk apa kuhiraukan? Aku hanya ingin mencari apa inginku.
Oh bukan. Apa butuhku.
Insting? Mungkin aku sudah menyerupai hewan. Dan tidak beda.
Sudah lama tidak berkaca.
Nihil.
Aku mulai putus asa.
Dengan mendongakkan wajahku mengikuti sumbu Z, aku masih mencari arah mata angin.
Bangsat. Tak kelihatan.
Tak sadar aku mengumpat.
"Apa aku memang terlahir untuk tersesat?"
"Apa aku sudah tidak akan menemukan pedoman hidupku kembali?"
Tertatih.
Dan jatuh.
Di tengah danau dangkal.
0 kripik:
Post a Comment